"kamu kenapa masih belum pacaran?" tanya seorang lelaki berbaju jeans berwarna biru gelap, dengan selayar ponsel digenggamannya. "Pacaran itu kan cuma hiburan". Lanjutnya dengan tetap mengarah pada layar.
"Aku males, gak ada yang bener-bener bikin aku nyaman. Hiburan? Hahaha. Hiburan kan tidak melulu pacar? Ketika putus, masihkah kau terhibur?"
"Ya. Maksudku hanya untuk mengisi kekosongan waktu saja"
"Aku terlalu sibuk mengurusi sekolahku. Terima kasih kau sudah peduli, Jo. tapi aku rasa saat ini aku tak membutuhkan sesosok pacar"
Semuanya terdiam beberapa menit...
"Lalu bagaimana hubunganmu dengan pacarmu, Jo? Bagaimana kau memperlakukannya?"
"Lama tak bertemu Vee, kau masih sama saja. Selalu memikirkan pacarku ketimbang keadaanku."
"Aku hanya tak ingin, kau menyakiti perempuan"
"Ini sudah tahun kelima Vee, perbandingannya tetap sama. Kau. Aku rasa, hanya kau yang paling bisa mengerti aku Vee..." suara Jo, kini kian melirih.
"Jo, lama tak bertemu, kau masih sama saja. Selalu membanding-bandingkan"
"Aku mencari yang paling terbaik dari yang terbaik"
"Jika kau tak pernah merasa cukup dengan yang ada. Cepat atau lambat kau akan menjadi seorang bajingan, Jo."
"Aku sudah bajingan Vee..."
"Jo... Apa yang terjadi?" suara Velly menjadi getir
"Entahlah... Aku selalu merasa bersalah saat bersamamu. Aku telah banyak mempermainkan perasaan perempuan. Awalnya.aku tak bermaksud demikian, tapi aku melakukannya tanpa sadar." Jo semakin gusar. Angin malam bertiup kencang, kini awan menutupi manisnya rembulan yang membulat. Keduanya terdiam. Sambil mengaduk teh hangat yang kini sudah mendingin keduanya membiarkan waktu berjalan tanpa ada kata yang terselip. Nafas pun tak lagi teratur. Dengan nada yang lirih veely menjawab
"Jo, berubahlah... Kau terlalu angkuh melawan karma. Seandainya saja jika kau yang dipermainkan ketika kau masih cinta-cintanya, tidakkah hancur perasaanmu?"
"Ya, itu yang kau lakukan padaku. Tak sadarkah kau?"
"Apa maksudmu, Jo?"
"Kau, kau memilih lelaki lain yang kini meninggalkanmu. Yang entah apa kabarnya. Yang datang hanya saat membutuhkanmu saja. Yang tak pernah peduli apa kau baik-baik saja. Yang tak pernah tau apa yang kau rasakan. Yang terlalu banyak janji dari pada bukti, dan..."
"cukup, Jo."
"Kenapa? Vee, lupakan dia. Aku tahu dia tak pernah baik untukmu!"
"Lalu siapa yang baik untukku? Tahukah kamu siapa orangnya, Jo? Kau? Ah tak mungkin. Kau saja selalu memarahi aku. Aku tak pernah ada benarnya. Aku selalu saja menjadi bulan-bulananmu, Jo. Dan disaat aku bersama lelaki lain kau selalu mengacaukannya. Bukankah yang menjalani aku dan dia? Ingatlah Jo, status kita hanyalah teman."
"Aku akan selalu mengacaukannya Vee. Maafkan aku sebelumnya, kau adalah orang bertipe keras kepala jika kamu terlalu serius dalam berpacaran, maka kau yang akan paling hancur. Ingatlah bahwa Cinta itu pembodohan."
"Tidak, Jo. Kau salah, cinta itu indah. Hanya saja keburukan akan singgah agar kau tahu bahwa cinta itu benar-benar indah. Kehilangan akan singgah agar sadar bahwa yang ada benar-benar dibutuhkan. Bukankah begitu, Jo?"
"Ingatlah Vee, gunakanlah keseriusanmu saat menikah nanti dengan orang yang tepat. Aku setuju kau tak berpacaran saat ini. Tadi aku bertanya hanya sekedar basa-basi. Memastikan kau benar-benar tak berubah, seperti yang dulu." kalimat terakhir yang Jo ucapkan diujung pertemuan. Veely tertegun. Veely berpikir keras, benar atau salah menjadi trending topik beberapa menit selang Jo pergi. Teh yang diaduk sedari tadi dilihatnya dengan menghela nafas panjang.
